Featured Post 6

Minggu, 16 Desember 2012

Belajar Mandiri



Walau ada yang menggangunya di jalan atau kebetulan ada orang gila yang melintas, buat Riki sudah menjadi hal biasa. Riki sudah mampu mengatasi sesuatu yang terjadi. Apabila ada anak jalanan yang nakal, ia tidak acuh sepanjang tidak mencederai atau mengambil barangnya.
Demikian pula apabila ada kebetulan orang gila hilir mudik di jalur jalan yang dilintasi Riki, ia berupaya menghindar. Saat pulang sekolah Riki tidak minta dijemput ayah atau abangnya. Padahal ia tahu abangnya Rico tidak ada kerjanya, sehabis mengantar atau menjemput ibu ke pasar ia paling main game di computer pribadinya.

       Riki putra bungsu, walaupun begitu ia tidak memperlihatkan sikap cengeng di lingkungan keluarganya. Sejak duduk di kelas III SD ia ingin menunjukan, tidak usah diantar jemput, ia sampai juga di rumah dengan aman. Semula Riki terpicu oleh ucapan teman-temannya mula-mula ia duduk di kelas III SD itu. Beberpa orang temannya menyebutnya anak mama karena pada siang itu mama menjemputnya saat pulang sekolah.

      " Wou, wou….! Coba lihat! anak mama ni yee...!" ejek Eman teman satu kelasnya.

     "Jangan sok usil, mau anak mama, anak papa itu urusanku tau!" tantang Riki pada waktu itu.

      Masih segar dalam ingatannya ketika ia diejek Rino dan gerombolannya. Waktu itu Riki tetap melakukan perlawanan. Namun perlahan dipikirkannya, apa yang dilakukan teman-temannya itu menjadi pemicu agar ia tidak cengeng baik di rumah maupun di lingkungan sekolah dan pergaulannya.

      Sebenarnya, sejak itu Riki sudah termotifasi untuk menjadi lebih baik lagi. Namun secara jujur ia tidak mau mengakui itu kepada eman dan teman-teman lainnya.

       Selain itu, Riki mendapat pengalaman dari Dedi. Pada jam istirahat itu Dedi bercerita kepada Riki bahwa abangnya sedang menjalani perkuliahan di Bandung, sehingga jauh dari orangtua.

     "Abangku pernah bercerita padaku, saat pertama ia kuliah di Bandung," urai Dedi mengungkap cerita abangnya.

     "Apa yang dia ceritakan..?" desak Riki ingin segera tahu.

     "Tahun pertama ia di kota hujan itu, untuk masak nasi saja ia tidak pandai. Itulah gunanya sejak SD perlu aktif di Pramuka. Hampir setahun lamanya ia makan di warung, padahal mama sudah berpesan agar ia hidup hemat di rantau. Abangku Zul kuliah di Bandung dan kakakku Rina kuliah di Pekanbaru. Tentu orangtua berat memikirkan itu yang hanya status pegawai kecil di kantor pemerintahan." urai Dedi.

     "Jadi bagaimana abangmu bisa masak sendiri. Apa sebelumnya ibumu mengajarinya bagaimana cara masak nasi..?" tanya Riki.

     "Abangku pandai masak nasi setelah belajar dari teman-teman kuliahnya yang sama-sama berasal dari Medan," terang Dedi.

     ”Begitulah kalau hidup jauh dari orangtua, masak sendiri, nyuci sendiri, makanpun sendiri,"  timpal Riki yang dari cerita Dedi itu menambah pengalamannya.

     Dari berbagai motivasi itu menjadi daya dorong bagi Riki dalam bersikap menjadi lebih mandiri. Apalagi nantinya setelah lulus SMA Riki bercita-cita akan melanjutkan studi ke Pulau Jawa, entah di Bandung atau Yogyakarta masih jadi pertimbangannya setelah usia menjelang dewasa.

      Setelah bersikap ingin mandiri, memang bukan sedikit tantangan yang dialami dan dihadapi oleh Riki. Pernah suatu hari Riki nyaris pingsan setelah sampai di rumah. Hari itu ia menolak dibekali mama nasi bontot dalam tasnya, Riki berpikir lebih cepat dan praktis nanti sarapan di kantin sekolah saja.

      Tiba pada jam istirahat Riki merogoh kantongnya. Rupanya uang jajan yang ia persiapkan tidak dibawa, tetapi terselip pada kantong celana lain yang teregantung pada sangkutannya di dalam kamar. Jadilah pada hari itu, Riki praktis tidak sarapan dan tidak makan apa-apa.

      Beberapa orang teman mengajaknya ke kantin sekolah. Ada yang menawarkan siap mentraktir teman-teman lainnya, termasuk Riki yang diajak bersama. Namun prinsip Riki ia lebih baik memberi daripada menerima dari teman-temannya. Prinsip itu ia pegang kuat walau ia dalam keadaan lapar. Selama dalam perjalanan pulang sekolah perutnya keroncongan ditambah masuk angin karena perut yang kosong. Tiba di rumah wajahnya sudah pucat.

     Begitu selesai makan siang Riki terus makan lalu minum obat, setelah shalat duhur lalu tidur siang.

      Sore hari Riki menuju lapangan bola kaki. Memang setiap sore Rido ada di tempat itu, namun bukan untuk bermain bola. Rido yang anak yatim itu mengangon kambing kepunyaannya sebanyak 12 ekor.

      emula kambing itu hanya tiga ekor, pemberian dari paman Rido. Setelah dipelihara dengan tekun, mulai dari siang hingga sore diangon didekat lapangan bola. Kambing milik Rido cantik-cantik dan gemuk.

      Rido bercita-cita, kelak setelah kambingnya berkembang biak sebahagian ia jual untuk biaya kuliahnya nanti.

      "Kelak setelah lulus SMA, aku kuliah di Medan saja Ki...! Selain tetap ingin mengembangbiakkan kambing juga membantu ibu bekerja untuk biaya adikku yang masih sekolah," ujar Rido sendu, nyaris menitikkan air mata mengingat ia yang masih yatim dengan dua adik yang masih kecil -kecil.

      "Dimana saja kelak kuliah, itu sama saja, semua itu tergantung ketekunan kita," ujar Riki seraya menepuk-nepuk pundak Rido.

       Rido memang anak yang sangat rajin, pintar di sekolah dan tidak mau membuang-buang waktu. Di sekitar tempatnya mengangon kambing terdapat lapangan bola, namun ia tidak tertarik untuk bermain bola dengan teman-temannya. Sudah berulangkali Erwin mengajaknya bermain bola, namun masih dapat ditolaknya secara halus. Rido dan Erwin adalah sahabat karib sejak kecil, namun Erwin tanggap akan nasib sahabatnya itu. Sejak ayah Rido wafat setahun lalu ia lebih banyak bekerja dan fokus membantu ibu.

       Keadaan yang menempa Rido harus mandiri, mengurai masa depan yang tidak mendapat bimbingan dari sang ayah maupun dari ibunya. Berbeda dengan Riki yang masih memiliki kedua orangtua dan penghasilan orangtuanya yang cukup memadai untuk membiayainya dan saudaranya ke perguruan tinggi.


***


 







By : Cici Yunita

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More